MEMAHAMI
PPN ATAS PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS
Ditulis
oleh : Hari Sugiharto
PENDAHULUAN
Mulai
1 April 2010 pembeli kendaraan bermotor bekas dari dealer kendaraan bermotor
bekas akan mengeluarkan uang lebih besar dari sebelumnya. Bukan karena harga
kendaraan bermotor bekas yang sedang melonjak karena permintaan tinggi seperti
jika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Bukan juga karena pembatasan BBM
bersubsidi bagi kendaraan yang relatif baru. Intinya bukan karena harga
kendaraannya. Tetapi karena pajak yang dibayar lebih besar dari sebelumnya.
Pajak yang dimaksud adalah PPN. Bukan karena tarif PPN berubah. Tarif PPN tetap
10%. Yang berubah adalah Dasar Pengenaan Pajaknya. Bagaimana implikasi
perubahan inilah yang penulis coba paparkan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN
PAJAK
Secara
resmi, dengan berlakunya UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
perubahan ketiga, pajak memilki definisi yuridis. Dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP,
pajak diartikan sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Hakikatnya,
pajak diciptakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Tentu ini terkait dengan penggunaan pajak. Dan ini merupakan implikasi
dari sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
PENGERTIAN
PPN
PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Ini bukan definisi resmi tentang
PPN. Kita tidak menemukan definsi PPN dalam Pasal-Pasal UU PPN 1984. Kalimat
itu ada dalam penjelasan UU PPN 1984. Juga tidak ada definisi tentang apa yang
dimaksud dengan konsumsi. Tetapi kita memulai pembahasan tentang PPN dari statement
itu.
Yang
menjadi objek pajak adalah konsumsi barang dan jasa sedangkan subjek pajak
dalam arti pemikul beban pajak adalah konsumen. Dalam sudut pandang PPN,
konsumenlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk dibebani pajak atas konsumsi
barang maupun jasa.
Secara
yuridis tidak semua barang yang dikonsumsi merupakan objek PPN. Pajak
Pertambahan Nilai “hanya” dikenakan terhadap barang kena pajak. Yang dimaksud
barang kena pajak adalah semua barang kecuali yang termasuk golongan barang:
- barang hasil pertambangan atau
hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
- barang kebutuhan pokok yang
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
- makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
- uang, emas batangan, dan surat
berharga.
Kendaraan
bermotor bekas tidak termasuk dalam 4 kelompok barang dimaksud sehinga termasuk
barang kena pajak yang atas konsumsinya terutang PPN.
Meskipun
konsumen yang memikul beban pajak tetapi kewajiban pelunasannya ke Kas Negara
diserahkan kepada penjual. Penjual memegang fungsi menetapkan pajak atas
penyerahan barang dan jasa yang terutang PPN dengan menerbitkan Faktur Pajak.
Faktur Pajak inilah yang merupakan bukti beban pajak bagi pembeli yang harus
dibayar kepada penjual dan merupakan bukti pungutan pajak bagi penjual yang
selanjutnya wajib disetor ke Kas Negara.
MEKANISME
PELUNASAN PPN KE KAS NEGARA
Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut oleh penjual, dan dinamakan Pajak Keluaran,
tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara. Sebagian merupakan hak penjual. Yang
merupakan hak penjual adalah PPN yang dibayar atas perolehan barang atau jasa
yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan dikenal dengan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan. Selisih lebih Pajak Keluaran dikurangi Pajak
Masukan inilah yang wajib disetor ke Kas Negara. Mekanisme seperti ini
merupakan mekanisme umum pengkreditan Pajak Masukan yang dilakukan pada
setiap Masa Pajak. Ketentuan umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPN
1984 antara lain menyatakan:
- Pajak Masukan dalam suatu Masa
Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang
sama.;
- Pajak Masukan yang dikreditkan
harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan;
- Apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak;
- Apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
MEKANISME
PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN
KETENTUAN BARU
Mekanisme
pelunasan PPN untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak mengikuti
mekanisme umum di atas tetapi menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 7a dan 7b UU PPN 1984 dan
ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
79/PMK.03/2010. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan
bermotor bekas secara eceran, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu
sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran.
Konsekuensi
dari penghitungan dengan cara demikian adalah bahwa berapapun PPN yang dibayar
karena perolehan barang atau jasa terkait dengan kegiatan usaha tidak lagi
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tidak lagi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya
melainkan dengan menggunakan taksiran yang ditentukan sebesar 90% dari Pajak
Keluaran.
MEKANISME
PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN
KETENTUAN LAMA
Sebelum
1 April 2010, atas penyerahan kendaraan bermotor bekas menggunakan Nilai Lain
sebagaimana ditetukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/
1994 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03 /2002. Dalam Peraturan
tersebut antara lain diatur:
-
Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah berupa
Nilai Lain yang ditetapkan sebesar 10% dari Harga Jual.
-
Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak
dapat dikreditkan.
Ketentuan
ini mengandung konsekuensi bahwa:
-
PPN yang dibayar adalah sebesar 1% dari harga Jual yang berasal dari 10%
dikalikan 10% dari Harga Jual;
-
Pajak yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
berhubungan langsung dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
PENGERTIAN
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK
Yang
dituju sebagai pemikul beban pajak sesungguhnya untuk PPN adalah konsumen akhir
dari suatu barang atau jasa. Karena pengenaannya bertingkat pada setiap jalur
yang dilalui suatu barang sejak diproduksi sampai didistribusikan ke konsumen
akhir, untuk menghindari pengenaan pajak berganda maka dasar pengenaannya hanya
atas nilai tambahnya saja. Pengenaan atas nilai tambahnya saja dilakukan dengan
cara pengurangan tidak langsung dimana yang disetorkan ke Kas Negara adalah
selisih antara pajak yang dipungut (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar
(Pajak Masukan). Mekanisme pengurangan dilakukan dengan cara mengkreditkan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Pada akhirnya konsumen akhirlah yang
memikul beban kumulatif PPN atas konsumsi barang dan jasa.
Istilah
pengkreditan Pajak Masukan berlaku bagi setiap Pengusaha Kena Pajak ketika
membeli barang atau memanfaatkan jasa untuk kepentingan usaha. Karena barang
yang dibeli atau jasa yang dimanfaatkan tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi
sehingga pengusaha ybs bukan merupakan sasaran bagi pengenaan PPN. Pajak yang
sudah “terlanjur” menjadi beban selanjutnya dapat dilimpahkan ke konsumen
berikutnya yang menurut sudut pandang penjual merupakan sasaran pengenaan PPN.
Secara yuridis pelimpahan pajak ke konsumen berikutnya dilakukan dengan
mekanisme pengkreditan. Secara konseptual, apabila Pengusaha Kena Pajak dapat
membuktikan bahwa dia bukan konsumen akhir dari barang yang dibeli atau jasa
yang dimanfaatkan maka PPN yang dibayar dapat dikreditkan.
Pembuktian
bahwa pengusaha bukan konsumen akhir dari barang yang dibeli dapat dilakukan
secara formil dan materil. Bukti formil adalah bahwa PPN tercantum dalam Faktur
Pajak yang diisi secara benar, lengkap dan jelas. Atau bukan merupakan Faktur
Pajak yang cacat. Bukti materil antara lain barang yang dibeli dan jasa yang
dimanfaatakan berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN.
Sepanjang PKP tidak dapat membuktikannya maka PPN yang dibayar tidak dapat
dikreditkan dengan kata lain dialah pemikul beban pajak yang sesungguhnya.
Karena
PPN adalah pajak atas konsumsi pada wilayah konsumsen akhir maka yang merupakan
penerimaan Negara sesungguhnya dari PPN adalah yang dibayar oleh konsumen
akhir. Bukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak ketika membeli barang atau
jasa.
KONSEKUENSI
PENGHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN PEDOMAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Yang
menarik untuk disimak adalah ketentuan mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan
bagi pengusaha kena pajak sebagai dealer kendaraan bermotor bekas yang
menggunakan perkiraan sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Ketentuan ini mengandung
konsekuensi:
- Pengusaha Kena Pajak tidak peru
lagi membuktikan bahwa ybs bukan konsumen akhir atas barang yang dibeli
atau jasa yang dimanfaatkan;
- Pajak yang dibayar oleh
konsumen selaku pembeli kendaraan bermotor bekas belum tentu seluruhnya
masuk ke Kas Negara;
- Pengusaha Kena Pajak dapat
“diuntungkan” atau “dirugikan” karena ada selisih antara pajak yang
seharusnya dibayar dengan pajak yang nyata-nyata dibayar berdasarkan
taksiran dalam konteks PPN sebagai Pajak atas Konsumsi.
Dengan
demikian atas pembelian barang ataupun jasa yang dilakukan oleh dealer
kendaraan bermotor bekas menjadi tidak jelas siapa konsumen akhirnya, variabel
penting dalam penerapan PPN sebagai pajak atas konsumsi. Pajak yang dipungut
sejak proses produksi sampai distribusi apabila mengalur pada jalur kendaraan
bermotor bekas akan menjadi tidak jelas siapa dan berapa pajak yang harus dipikul.
Contoh
berikut dapat memperjelas konsekuensi dimaksud:
Dalam
catatan dealer kendaraan bermotor bekas pada suatu Masa Pajak diperoleh data
sbb:
- Penyerahan dan PPN yang
dipungut:
|
Harga
Jual
|
Pajak
Keluaran
|
Penjualan kendaraan bekas
|
500juta
|
50juta
|
- Pembelian barang dan jasa serta
Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan kena pajak:
|
Harga
Jual/ Penggantian
|
Pajak
Masukan
|
- Pembelian mobil bekas dari
PKP
- Pembelian mobil bekas dari
non PKP
- Pemanfaatan JKP
|
180juta
300juta
50juta
|
18juta
--
5juta
|
Perbandingan
PPN yang dibayar oleh konsumen dan PPN yang disetor oleh Dealer Kendaraan
Bermotor Bekas dengan ketentuan baru dan lama:
Berdasarkan
ketentuan lama :
Jumlah
harga jual dalam Masa
Pajak
Rp500juta
Dasar
Pengenaan Pajak: 10% x
500juta
Rp50juta
PPN
yang dipungut dari konsumen = 10% x
Rp50juta
Rp5juta
PPN
yang disetor ke Kas Negara
Rp5juta
Secara
yuridis penerimaan Negara yang berasal dari PPN dalam suatu tahapan sampai
penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh Dealer adalah sbb:
- Pembayaran PPN
yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
- PPN yang
dipungut oleh Dealer
|
Rp23juta
Rp5juta
|
Jumlah
|
Rp28juta
|
Tidak
ada bias antara pajak yang dibayar oleh konsumen dengan yang disetorkan ke Kas
Negara. Yang dimaksud konsumen di sini adalah dealer karena Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan (sebesar Rp23juta) dan konsumen yang membeli kendaraan
bekas dari dealer (sebesar Rp5juta). Sebesar Rp23juta dibayar ke Kas Negara
melalui pemungutan oleh penjual kendaraan, sedangkan Rp5juta dibayar ke Kas
Negara oleh dealer.
Berdasarkan
ketentuan baru :
Jumlah
harga jual dalam Masa
Pajak
Rp500juta
Dasar
Pengenaan
Pajak
Rp500juta
PPN
yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp500juta
Rp50juta
PPN
yang disetor ke Kas Negara dengan Pedoman Pengkreditan
-
Pajak
Keluaran
Rp50juta
-
Pajak Masukan: 90% x
Rp50juta
Rp45juta
Pajak
kurang
dibayar
Rp5juta
Dengan
ketentuan ini, yang diterima oleh Negara adalah sbb:
- Pembayaran PPN
yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
- PPN yang
disetor ke Kas Negara oleh Dealer
|
Rp23juta
Rp5juta
|
Jumlah
|
Rp28juta
|
Meskipun
tidak terdapat perbedaan dari sisi penerimaan Negara antara ketentuan lama dan
ketentuan baru namun dengan ketentuan baru terdapat bias antara yang
sesungguhnya dibayar oleh konsumen dengan yang diterima Kas Negara.
Yang
sesungguhnya dibayar oleh konsumen dan seharusnya disetor ke Kas Negara adalah
sbb:
- Pembayaran PPN
yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer
- Selisih lebih
yang seharusnya disetor ke Kas Negara:
|
Rp50juta
|
- Hak penjual berupa pajak
yang dapat dikreditkan
|
Rp23juta (-)
|
|
Rp23juta
Rp27juta
|
Jumlah
|
Rp50juta
|
Selisih
pajak yang dibayar konsumen dengan yang diterima oleh Negara adalah sebesar
Rp.22juta yaitu Rp.50juta - Rp28juta. Jumlah ini juga sama dengan jumlah pajak
yang dipungut oleh dealer sebesar Rp.50juta dikurangi yang menjadi hak dealer
berupa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp.23juta dan dikurangi
yang nyata-nyata disetor ke Kas Negara sebesar Rp5juta. Kemana larinya uang
sebesar Rp.22juta? Tentunya menjadi “milik” dealer.
Jika
pajak yang dibayar konsumen ternyata tidak seluruhnya masuk ke Kas Negara atau
sebagian masuk ke Kas dealer, bisakah kita menyebut bagian yang tidak
disetorkan ini sebagai pajak. Dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP, salah satu kriteria
pajak adalah digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dengan demikian “pajak” yang dibayar konsumen dan tidak masuk ke Kas
Negara, yang dalam kasus di atas adalah sebesar Rp22juta, tidak memenuhi
kriteria ini.
Apabila
konsumen kendaraan bermotor bekas menyadari hal ini tentu secara psikologis
akan berdampak negatif dalam pembayarannya. Pajak mungkin saja tinggi tetapi
jika subjek pajak yakin bahwa semuanya menjadi penerimaan Negara secara
psikologis tidak menjadi masalah. Sebab memang demikian nature dari
pajak.
Melihat
angka-angka di atas, ketentuan baru pengkreditan Pajak Masukan dengan
menggunakan pedoman, secara ekonomis memang bisa menguntungkan dealer dan bisa
juga merugikan. Dalam kasus yang Pajak Masukan yang dapat dikreditkannya lebih
besar dari 90% dikalikan Pajak Keluaran maka dealer secara ekonomis “dirugikan”.
Tetapi dalam kasus dealer dirugikan, tidak ada bias antara pajak yang dibayar
konsumen dengan yang disetor ke Kas Negara.
KESIMPULAN
Pajak
Pertambahan Nilai yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas konsumsi barang
kena pajak dan jasa kena pajak. Ini mengandung arti bahwa yang menjadi objek
adalah konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak. Sedangkan pemikul beban
pajaknya adalah konsumen. Dalam karakter PPN sebagai pajak tidak langsung, maka
pajak yang terutang atas konsumsi barang dan jasa menjadi tanggungjawab penjual
untuk menyetornya ke Kas Negara melalui pemungutan. Sarana untuk melakukan
pemungutan adalah Faktur Pajak.
Berbeda
dengan ketentuan umum mekanisme pengkreditan Pajak Masukan, khusus untuk
penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh dealer kendaraan bermotor bekas, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan wajib dihitung dengan menggunakan Pedoman
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/PMK.03/2010. Dalam peraturan itu ditetapkan bahwa besarnya Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 90& dari Pajak Keluaran.
Secara
ekonomis, ketentuan ini bisa menguntungkan atau bisa juga merugikan bagi dealer
kendaraan bermoptor bekas. Keuntungan ekonomis dimaksud adalah berupa pajak
yang dipungut tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara yaitu apabila Pajak
Masukan yang dapat dikreditkannya lebih kecil dari 90% dikalikan Pajak Masukan.
Ini mengandung arti tidak semua “pajak” yang dibayar oleh konsumen atas
pembelian kendaraan bermotor bekas disetor seluruhnya ke Kas Negara oleh
dealer. Dengan ketentuan baru pajak yang dibayar konsumen menjadi lebih besar
tetapi yang diterima oleh Negara tetap sama dengan ketentuan lama. Terdapat
selisih antara “pajak” yang dibayar konsumen dengan pajak yang disetor ke Kas
Negara.
Sesuai
definisinya pajak yang dibayar oleh konsumen (dalam konteks PPN) seharusnya
menjadi penerimaan Negara yang selanjutnya digunakan demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu ditinjau ulang ketentuan
mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan bagi dealer kendaraan bermotor
bekas karena pengenaannya tidak sesuai dengan Undang-undang, setidaknya dengan
definisi pajak.