Tarif Jasa Konsultasi Pajak Update bulan April 2019

Tarif Jasa Konsultasi Pajak 2019 Kisaran Harga Konsultan Pajak Kami menyediakan berbagai layanan termasuk penyusunan laporan keuangan, konsultasi manajemen, administrasi pajak, filing dokumen perpajakan, saran mengenai perpajakan pada perusahaan dan urusan lainnya. Profesionalitas dan prioritas utama kami pada klien, berbasis di Kota Depok, kami siap melayani anda : SPT Tahunan PPH Orang Pribadi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 SS yaitu berkisar Rp 300.000 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S yaitu berkisar Rp 500.000 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 – Beromzet hingga Rp 1 M yaitu Rp 800.000 – Beromzet hingga Rp 4.8 M yaitu berkisar Rp 1.500.000 – Beromzet hingga Rp 10 M  yaitu berkisar Rp 2.500.000 SPT Tahunan PPh Badan Perusahaan beromzet 0 (Nihil) Rp 500.000 Perusahaan beromzet Rp 100 juta hingga Rp 1 M per tahun yaitu berkisar Rp 1.500.000 Perusahaan beromzet Rp 1 M hingga Rp 4.8 M per tahun yaitu berkisar Rp 2.500.000 Perusahaan beromzet R...

PMK No. 19 Tahun 2018 tentang Tarif UMKM 0.5%

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19/PMK.03/2018

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 70/PMK.03/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS MENGENAI AKSES
INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa ketentuan mengenai petunjuk teknis akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan; 
  2. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan/atau Entitas Lain dalam menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan serta mempertimbangkan rekomendasi dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai petunjuk teknis akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 771) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 837);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS MENGENAI AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN. 
Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 771), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 837) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perjanjian Internasional di Bidang Perpajakan, yang selanjutnya disebut Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional, yang antara lain mengatur pertukaran informasi mengenai hal yang berkaitan dengan perpajakan, meliputi:
  1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
  2. Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement);
  3. Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters);
  4. Persetujuan Multilateral Antar-Pejabat yang Berwenang untuk Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information);
  5. Persetujuan Bilateral Antar-Pejabat yang Berwenang untuk Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information);
  6. Persetujuan Antar-Pemerintah untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing (Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance Act); atau
  7. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
2. Pertukaran Informasi Keuangan yang selanjutnya disebut Pertukaran Informasi adalah kegiatan untuk menyampaikan, menerima, dan/atau memperoleh informasi keuangan yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan Perjanjian Internasional, yang bertujuan untuk:
  1. mencegah penghindaran pajak;
  2. mencegah pengelakan pajak;
  3. mencegah penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan/atau
  4. mendapatkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
3. Standar Pelaporan Umum (Common Reporting Standard), yang selanjutnya disebut CRS adalah standar yang berisi pelaporan, prosedur identifikasi Rekening Keuangan, dan Pertukaran Informasi yang dirujuk atau diatur dalam Perjanjian Internasional untuk melakukan Pertukaran Informasi antarnegara, yang tercantum dalam pokok-pokok pengaturan/batang tubuh bagian II.B, penjelasan (commentaries) bagian III. B dan Annex 5 Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters, beserta perubahannya.
4. Pertukaran Informasi Secara Otomatis adalah Pertukaran Informasi yang dilakukan pada waktu tertentu, secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan atas informasi keuangan yang diperoleh dari lembaga keuangan.
5. Yurisdiksi Asing adalah negara atau yurisdiksi selain Indonesia.
6. Yurisdiksi yang Berpartisipasi dalam Pertukaran Informasi Secara Otomatis yang selanjutnya disebut Yurisdiksi Partisipan adalah Yurisdiksi Asing yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi keuangan secara otomatis.
7. Yurisdiksi Tujuan Pelaporan adalah Yurisdiksi Partisipan yang merupakan tujuan bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewajiban penyampaian informasi keuangan secara otomatis.
8. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
9. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya disebut LJK Lainnya adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
10. Entitas Lain adalah badan hukum seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai dengan standar Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional.
11. Lembaga Kustodian adalah entitas yang mengelola aset keuangan atas nama pihak lain sebagai kegiatan utama dari usahanya, yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
12. Lembaga Simpanan adalah entitas yang menerima simpanan dalam kegiatan perbankan secara umum atau usaha sejenis, yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
13. Perusahaan Asuransi Tertentu adalah perusahaan asuransi yang menerbitkan kontrak asuransi nilai tunai atau, kontrak anuitas atau diwajibkan untuk melakukan pembayaran berkenaan dengan kontrak asuransi nilai tunai atau kontrak anuitas dimaksud.
14. Entitas Investasi adalah:
a. entitas yang kegiatan utamanya menjalankan satu atau lebih kegiatan atau operasi, untuk atau atas nama nasabah, yaitu:
1) perdagangan instrumen pasar uang, valuta asing, mata uang, suku bunga, instrumen indeks, efek yang dapat dipindah tangankan, atau perdagangan komoditas berjangka; 
2) pengelolaan portofolio secara individu dan kolektif; atau
3) investasi, administrasi, atau pengelolaan aset keuangan atau uang atas nama pihak lain; dan/atau
b. entitas yang sebagian besar penghasilan brutonya berasal dari kegiatan investasi, reinvestasi, atau perdagangan aset keuangan, dan entitas tersebut dikelola oleh entitas lain yang merupakan Lembaga Simpanan, Lembaga Kustodian, Perusahaan Asuransi Tertentu, atau Entitas Investasi sebagaimana dimaksud pada huruf a,
yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
15. Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi adalah orang pribadi yang terdaftar atau teridentifikasi sebagai pemegang suatu Rekening Keuangan oleh lembaga keuangan yang mengelola Rekening Keuangan dimaksud, yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
16. Pemegang Rekening Keuangan Entitas adalah entitas yang terdaftar atau teridentifikasi sebagai pemegang suatu Rekening Keuangan oleh lembaga keuangan yang mengelola Rekening Keuangan dimaksud, yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
17. Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
18. Rekening Keuangan Lama adalah:
  1. Rekening Keuangan yang dikelola sampai dengan tanggal 30 Juni 2017 oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain; atau
  2. Rekening Keuangan yang dibuka sejak tanggal 1 Juli 2017 oleh pemegang Rekening Keuangan yang telah memegang Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, yang kriterianya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
19. Rekening Keuangan Baru adalah Rekening Keuangan yang dikelola sejak tanggal 1 Juli 2017 oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
20. Rekening Keuangan Bernilai Rendah adalah Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi dengan agregat saldo atau nilai pada tanggal 30 Juni 2017 sebesar paling banyak USD1.000.000,00 (satu juta Dolar Amerika Serikat).
21. Rekening Keuangan Bernilai Tinggi adalah Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi dengan agregat saldo atau nilai pada tanggal 30 Juni 2017, pada tanggal 31 Desember 2017, atau pada tanggal 31 Desember tahun kalender selanjutnya, sebesar lebih dari USD 1.000.000,00 (satu juta Dolar Amerika Serikat).
22. Negara Domisili adalah negara atau yurisdiksi tempat orang pribadi atau entitas menjadi subjek pajak dalam negeri.
23. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disingkat Kanwil DJP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
24. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kanwil DJP.
25. Kantor Pengolahan Data Eksternal yang selanjutnya disingkat KPDE adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengolahan data dan dokumen yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak, dan secara teknis fungsional dibina oleh Direktur Teknologi Informasi Perpajakan.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
(2) Akses informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis; dan
  2. pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan berdasarkan permintaan,
untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan Perjanjian Internasional.
(3) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk pelaksanaan Perjanjian Internasional disusun berdasarkan CRS.
(4) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan disusun berdasarkan CRS, kecuali Peraturan Menteri ini mengatur lain.
3. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (9) Pasal 7 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat 11 sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk setiap Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan kepada:
  1. Direktorat Jenderal Pajak melalui Otoritas Jasa Keuangan, bagi LJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a; dan
  2. Direktorat Jenderal Pajak, bagi LJK Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c.
(1a) Termasuk lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kontrak investasi kolektif yang kewajiban pelaporannya dilaksanakan oleh manajer investasi yang mengelola portofolio investasi kolektif tersebut.
(2) Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Rekening Keuangan yang telah diidentifikasi sesuai prosedur identifikasi Rekening Keuangan sebagai Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan dan dipegang oleh (held by):
  1. satu atau lebih orang pribadi dan/atau entitas yang wajib dilaporkan; atau
  2. entitas nonkeuangan pasif, dalam hal satu atau lebih pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan.
(3) Orang pribadi yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan:
  1. setiap orang pribadi yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari Yurisdiksi Tujuan Pelaporan; atau
  2. warisan yang belum terbagi dari orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang sudah meninggal.
(4) Entitas yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan setiap entitas yang Negara Domisilinya merupakan Yurisdiksi Tujuan Pelaporan, kecuali:
  1. perusahaan yang sahamnya diperdagangkan secara teratur di satu atau lebih bursa efek;
  2. entitas yang berelasi (related entity) dengan perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. entitas pemerintah;
  4. organisasi internasional;
  5. bank sentral; atau
  6. LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain,
yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Dikecualikan dari Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu satu Rekening Keuangan Lama atau lebih yang dipegang oleh (held by) satu entitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang agregat saldo atau nilai Rekening Keuangannya tidak melebihi USD250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat) pada tanggal 30 Juni 2017, 31 Desember 2017, dan 31 Desember setiap tahun kalender berikutnya.
(6) Entitas nonkeuangan pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan: 
  1. entitas yang bukan merupakan entitas nonkeuangan aktif yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; atau
  2. Entitas Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 huruf b yang Negara Domisilinya bukan merupakan Yurisdiksi Partisipan.
(7) Entitas Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b merupakan entitas yang sebagian besar penghasilan brutonya berasal dari kegiatan investasi, reinvestasi, atau perdagangan aset keuangan, dan dikelola oleh entitas lain yang merupakan Lembaga Simpanan, Lembaga Kustodian, Perusahaan Asuransi Tertentu, atau Entitas Investasi.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
  1. untuk pertama kali pada tahun 2018, yang berisi informasi keuangan yang tercatat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017; dan
  2. untuk setelah tahun 2018, yang berisi informasi keuangan yang tercatat sampai dengan tanggal 31 Desember tahun sebelumnya.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor Rekening Keuangan;
  3. identitas lembaga keuangan pelapor;
  4. saldo atau nilai Rekening Keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan Rekening Keuangan,
yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 
(10) Dalam hal tidak terdapat Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan dalam satu tahun kalender, lembaga keuangan pelapor tetap wajib menyampaikan laporan nihil sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(11) Lembaga keuangan pelapor dapat melakukan pembetulan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian laporan.
4. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 9 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), ketentuan Pasal 9 ayat (4) dihapus, ditambahkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Dalam penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, lembaga keuangan pelapor wajib melaksanakan prosedur identifikasi Rekening Keuangan yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Prosedur identifikasi Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2017 terhadap:
  1. Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi;
  2. Rekening Keuangan Baru yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi;
  3. Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Entitas; dan
  4. Rekening Keuangan Baru yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Entitas.
(2a) Pada saat pembukaan Rekening Keuangan berupa Rekening Keuangan Baru yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau Rekening Keuangan Baru yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Entitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, lembaga keuangan pelapor wajib:
  1. meminta pernyataan diri (self-certification) kepada calon pemegang Rekening Keuangan, yang merupakan bagian dari dokumen pembukaan Rekening Keuangan atau terpisah dari dokumen pembukaan Rekening Keuangan dimaksud;
  2. melakukan klarifikasi kewajaran dari pernyataan diri (self-certification) sebagaimana dimaksud dalam huruf a berdasarkan informasi yang diperoleh lembaga keuangan pelapor berkaitan dengan pembukaan Rekening Keuangan tersebut, termasuk dokumentasi yang dikumpulkan berdasarkan prosedur anti pencucian uang/prinsip mengenal nasabah; dan
  3. menentukan Negara Domisili pemegang Rekening Keuangan berdasarkan pernyataan diri (self-certification) sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan hasil klarifikasi kewajaran sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(3) Untuk pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga keuangan pelapor melakukan konversi nilai mata uang menjadi Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia atau menggunakan kurs spot harian valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap Dolar Amerika Serikat dalam hal tidak tersedia pada kurs tengah Bank Indonesia, yang berlaku pada tanggal:
  1. 30 Juni 2017, untuk penentuan klasifikasi Rekening Keuangan Bernilai Rendah dan Rekening Keuangan Bernilai Tinggi, serta penentuan batasan Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) entitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5); dan
  2. 31 Desember setiap tahun, untuk penentuan klasifikasi Rekening Keuangan Bernilai Tinggi dan penentuan batasan Rekening Keuangan Lama yang dipegang oleh (held by) entitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5),
dalam hal saldo atau nilai Rekening Keuangan tercatat dalam mata uang selain Dolar Amerika Serikat.
(4) Dihapus.
(5) Dalam hal Rekening Keuangan yang dikelola oleh lembaga keuangan pelapor terkait dengan aset keuangan yang dijual melalui agen penjual, kewajiban prosedur identifikasi Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh agen penjual dimaksud.
(6) Agen penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan dokumen terkait pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan dan informasi data pemegang Rekening Keuangan kepada:
  1. lembaga keuangan pelapor yang mengelola aset keuangan, dalam hal aset keuangan berupa unit penyertaan kontrak investasi kolektif; atau
  2. lembaga keuangan pelapor yang bertindak sebagai Lembaga Kustodian, dalam hal aset keuangan selain unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
(7) Untuk kepentingan pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan, lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib memberikan informasi rincian pemegang Rekening Keuangan kepada agen penjual, termasuk agregasi saldo Rekening Keuangan untuk kepentingan identifikasi dimaksud.
5. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Pasal 10 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (2c) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Untuk pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, lembaga keuangan pelapor wajib menyelenggarakan, menyimpan, dan memelihara dokumentasi, yang paling sedikit berupa:
  1. pernyataan diri (self-certification);
  2. dokumen pembuktian;
  3. bukti, catatan, atau informasi terkait dengan Rekening Keuangan yang diperoleh atau digunakan selama pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan;
  4. dokumen yang berisi informasi keuangan yang diperoleh selama pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan; dan
  5. tahapan pelaksanaan prosedur identifikasi Rekening Keuangan.
(2) Pernyataan diri (self-certification) yang diselenggarakan, disimpan, dan dilakukan pemeliharaan oleh lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani atau diberikan afirmasi/pernyataan secara sungguh-sungguh oleh pemegang Rekening Keuangan atau kuasa sah dari pemegang Rekening Keuangan;
b. memuat informasi sebagai berikut:
1. nama pemegang Rekening Keuangan;
2. alamat pemegang Rekening Keuangan;
3. Negara Domisili pemegang Rekening Keuangan;
4. nomor identitas wajib pajak pemegang Rekening Keuangan pada setiap Negara Domisili;
5. tempat dan tanggal lahir, dalam hal pemegang Rekening Keuangan merupakan orang pribadi;
6. identitas pengendali entitas, dalam hal pemegang Rekening Keuangan merupakan entitas nonkeuangan pasif, yaitu:
a) nama pengendali entitas;
b) alamat domisili pengendali entitas;
c) Negara Domisili pengendali entitas;
d) nomor identitas wajib pajak pengendali entitas pada masing-masing Negara Domisili; dan
e) tempat dan tanggal lahir pengendali entitas;
7. pernyataan bahwa informasi sebagaimana dimaksud dalam pernyataan diri (self-certification) adalah benar; dan
8. pernyataan bahwa Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi atau Pemegang Rekening Keuangan Entitas bersedia menyampaikan pemberitahuan kepada lembaga keuangan pelapor dalam hal terdapat perubahan pada keadaan pemegang Rekening Keuangan yang menyebabkan isi dokumen pernyataan diri (self-certification) menjadi tidak benar atau tidak lengkap, paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak terjadinya perubahan dimaksud;
dan
c. memuat tanggal saat diterimanya pernyataan diri (self-certification) oleh lembaga keuangan pelapor.
(2a) Nomor identitas wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 4 dan angka 6 huruf d), serta tempat dan tanggal lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 5 dan angka 6 huruf e) tidak wajib dimuat dalam pernyataan diri (self-certification) sepanjang memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Lampiran I Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2b)
Penyampaian pernyataan diri (self-certification) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam bentuk elektronik atau non-elektronik; dan
b. penyampaian pernyataan diri (self-certification) dilakukan secara langsung, secara elektronik, atau dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat.
(2c) Terhadap pernyataan diri (self-certification) yang disampaikan secara elektronik, Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi atau Pemegang Rekening Keuangan Entitas wajib memberikan salinan berupa dokumen fisik pernyataan diri (self-certification) dimaksud, dalam hal diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau lembaga keuangan pelapor.
(3) Dokumen pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. untuk orang pribadi, dokumen resmi yang mencantumkan nama orang pribadi dan lazim digunakan untuk keperluan identifikasi, yang diterbitkan oleh instansi pemerintah yang berwenang;
b. untuk entitas, dokumen resmi yang mencantumkan nama entitas dan alamat kantor pusat entitas yang dapat berada di Negara Domisili maupun di negara atau yurisdiksi di mana entitas didirikan atau dijalankan; dan
c. untuk orang pribadi dan/atau entitas:
1. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi pemerintah yang berwenang di Negara Domisili pemegang Rekening Keuangan; dan
2. laporan keuangan yang diaudit, laporan kredit dari pihak ketiga, dokumen pengajuan pailit, atau laporan yang diterbitkan oleh regulator di bidang pasar modal.
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dan dipelihara paling singkat 5 (lima) tahun terhitung setelah akhir periode lembaga keuangan pelapor diwajibkan menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib dilaporkan berdasarkan CRS.
(5) Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga keuangan pelapor yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dalam Bahasa Indonesia.
6. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 13 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Dalam rangka penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis untuk pelaksanaan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a:
a. lembaga keuangan pelapor, pimpinan dan/atau pegawai lembaga keuangan dilarang melakukan tindakan untuk menghindari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10 dan/atau Pasal 12; dan
b. setiap orang termasuk lembaga keuangan pelapor, pimpinan dan/atau pegawai lembaga keuangan dan pihak lain dilarang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan.
(1a) Termasuk dalam pernyataan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pernyataan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Ketentuan Pasal 14 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Lembaga keuangan pelapor tidak diperbolehkan melayani:
a. pembukaan Rekening Keuangan Baru bagi orang pribadi dan/atau entitas; atau
b. transaksi baru terkait Rekening Keuangan bagi pemilik Rekening Keuangan Lama,
yang menolak untuk mematuhi ketentuan dalam Pasal 9.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak orang pribadi dan/atau entitas atau pemegang Rekening Keuangan Lama menolak untuk mematuhi ketentuan prosedur identifikasi.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk:
a. setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan;
b. pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi nasabah pasar modal;
c. penutupan polis baru; dan
d. kegiatan transaksi lainnya bagi pemegang Rekening Keuangan Lama pada lembaga keuangan pelapor yang merupakan LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi:
a. pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pemilik Rekening Keuangan Lama dengan lembaga keuangan pelapor;
b. penutupan rekening; atau
c. pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Ketentuan ayat (3) Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Untuk pelaksanaan Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Perpajakan Internasional atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, baik kantor pusat, kantor cabang, maupun unit yang mengelola informasi dan/atau bukti atau keterangan dimaksud.
(2) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, paling sedikit memuat: 
a. informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diminta;
b. format dan bentuk pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diminta; dan
c. alasan dilakukannya permintaan tersebut, 
dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran I Huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2a) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani secara biasa atau tanda tangan elektronik oleh pihak yang melakukan permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(3) LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara elektronik atau secara langsung paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan tersebut.
(3a) Terhadap pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan secara elektronik atau secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain diberikan bukti penerimaan.
(4) Apabila batas waktu pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau cuti bersama secara nasional, pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
9. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 17 diubah, dan ditambahkan 5 (lima) ayat yakni ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib untuk menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a ke Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan atas informasi keuangan yang dikelola oleh lembaga keuangan pelapor dalam 1 (satu) tahun kalender.
(3) Penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat atau suatu unit pada lembaga keuangan pelapor yang bertanggung jawab untuk penyampaian laporan.
(4) Penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a tidak wajib dilakukan oleh lembaga keuangan nonpelapor.
(5) Lembaga keuangan nonpelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan setiap LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
(6) Lembaga keuangan pelapor dapat melakukan pembetulan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian laporan.
(7)  Lembaga keuangan pelapor dapat menggunakan penyedia jasa, berupa lembaga keuangan lainnya, agen penjual, agen asuransi, perusahaan penyedia data, dan pihak lain, untuk memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8) Dalam hal lembaga keuangan pelapor menggunakan penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kewajiban serta tanggung jawab atas pemenuhan kewajiban pelaporan tetap berada pada lembaga keuangan pelapor.
10. Ketentuan ayat (1) Pasal 18 diubah, dan ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Lembaga keuangan pelapor dan lembaga keuangan nonpelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib mendaftarkan diri ke Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Dihapus.
(7)  Dihapus.
11. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 19 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan;
b. nomor Rekening Keuangan;
c. identitas LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
d. saldo atau nilai Rekening Keuangan; dan 
e. penghasilan yang terkait dengan Rekening Keuangan,
yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) merupakan seluruh Rekening Keuangan yang dipegang oleh (held by) Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi atau Pemegang Rekening Keuangan Entitas, selain yang dilaporkan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2a) Dalam hal Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional dipegang oleh (held by)
a. Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi atau Pemegang Rekening Keuangan Entitas yang diketahui memiliki lebih dari 1 (satu) Negara Domisili termasuk Indonesia; atau
b. Pemegang Rekening Keuangan Entitas, yang entitas dimaksud memiliki satu atau lebih pengendali entitas yang diketahui memiliki lebih dari 1 (satu) Negara Domisili termasuk Indonesia,
Rekening Keuangan tersebut juga wajib dilaporkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2b) Pemegang Rekening Keuangan Entitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk:
a. entitas pemerintah;
b. organisasi internasional; atau
c. bank sentral,
yang penjabaran secara rincinya tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Saldo atau nilai Rekening Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan agregat saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih yang dipegang oleh (held by) satu pemegang Rekening Keuangan dalam suatu LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain per 31 Desember pada tahun kalender pelaporan.
(4) Saldo atau nilai Rekening Keuangan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Lembaga Simpanan merupakan:
1. Rekening Keuangan yang dipegang oleh (held by) orang pribadi, saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan jumlah paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara; atau
2. Rekening Keuangan yang dipegang oleh (held by) entitas, tidak terdapat batasan saldo atau nilai Rekening Keuangan;
b. untuk Perusahaan Asuransi Tertentu merupakan Rekening Keuangan yang dipegang oleh (held by) orang pribadi atau entitas dengan tidak terdapat batasan saldo atau nilai tunai Rekening Keuangan, namun terbatas untuk polis asuransi dengan nilai pertanggungan paling sedikit Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara; dan
c. untuk Lembaga Kustodian dan Entitas Investasi merupakan Rekening Keuangan yang dipegang oleh (held by) orang pribadi atau entitas dengan tidak terdapat batasan saldo atau nilai Rekening Keuangan.
(5) Dalam hal tidak terdapat Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam satu tahun kalender, lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tetap wajib menyampaikan laporan nihil.
(6) Daftar lembaga keuangan pelapor tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
12. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 24 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (5) sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Pimpinan lembaga keuangan pelapor bertanggung jawab atas pemenuhan penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2) Pimpinan lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk atau menetapkan pejabat dibawahnya sebagai petugas pelaksana dalam rangka penyampaian informasi keuangan secara otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(3) Lembaga keuangan pelapor menyampaikan identitas petugas pelaksana yang ditunjuk atau ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bersamaan dengan saat pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(4) Dalam hal terjadi penggantian pimpinan dan/atau petugas pelaksana, lembaga keuangan pelapor harus menyampaikan informasi mengenai identitas pimpinan dan/atau petugas pelaksana yang baru bersamaan dengan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(5) Petugas pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) turut bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
13. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24A

(1) Dalam rangka penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a:
a. lembaga keuangan pelapor, pimpinan dan/atau pegawai lembaga keuangan dilarang melakukan tindakan untuk menghindari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21, Pasal 23, dan/atau Pasal 24;
b. setiap orang termasuk lembaga keuangan pelapor, pimpinan dan/atau pegawai lembaga keuangan dan pihak lain dilarang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan.
(2) Termasuk dalam pernyataan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pernyataan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(3) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Ketentuan ayat (2) Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Selain menerima laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berwenang untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, baik kantor pusat, kantor cabang, maupun unit yang mengelola informasi dan/atau bukti atau keterangan dimaksud, melalui surat permintaan.
(2) LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain untuk pelaksanaan kegiatan:
a. pengawasan terhadap Wajib Pajak, termasuk untuk kegiatan ekstensifikasi, intelijen, atau penilaian;
b. pemeriksaan;
c. penagihan pajak;
d. pemeriksaan bukti permulaan;
e. penyidikan pajak; atau
f. penyelesaian upaya hukum perpajakan, misalnya keberatan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, atau pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
15. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 29 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut;

Pasal 29

(1) Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) diberikan kepada:
a. pihak yang melakukan permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; atau
b. pihak yang ditunjuk oleh pihak yang melakukan permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(1a) Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan:
a. secara langsung;
b. secara elektronik; atau
c. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau perusahaan jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat.
(2) Terhadap pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) huruf a dan huruf b, kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain diberikan bukti penerimaan.
16. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 31 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut;

Pasal 31

(1) Direktur Jenderal Pajak meminta klarifikasi kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam hal terdapat indikasi pelanggaran atas pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 10.
(1a) Direktur Jenderal Pajak meminta klarifikasi kepada setiap orang, termasuk LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, dalam hal terdapat indikasi pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan Pasal 24A ayat (1) huruf b.
(2) Permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran I Huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
17. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 32 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan teguran tertulis kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam hal:
a. sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1):
1. LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tidak memberikan klarifikasi; atau
2. LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain memberikan klarifikasi, namun masih diindikasikan belum sepenuhnya memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 10;
b. kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau Pasal 17 tidak dipenuhi; dan/atau
c. kewajiban pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 25 tidak dipenuhi.
(1a) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan teguran tertulis kepada setiap orang, termasuk LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam hal sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1a):
1. orang dimaksud tidak memberikan klarifikasi; atau
2. orang dimaksud memberikan klarifikasi, namun masih diindikasikan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan Pasal 24A ayat (1) huruf b.
(2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran I Huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Tindak lanjut atas teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dituangkan dalam bentuk laporan.
18. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan berdasarkan pengembangan dan analisis atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) yang menunjukkan bahwa:
a. LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tidak atau belum sepenuhnya menindaklanjuti teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan/atau
b. orang, termasuk LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, tidak atau belum sepenuhnya menindaklanjuti teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1a).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti permulaan yang cukup, pemeriksaan bukti permulaan dilanjutkan dengan proses penyidikan.
(3) Pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan.
(4) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil Direktorat Jenderal Pajak.
19. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan pemeriksaan atas kepatuhan LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi pelanggaran atas pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 15, Pasal 17 dan/atau Pasal 25, laporan hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi pelanggaran atas:
a. pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 10; dan/atau
b. larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan/atau Pasal 24A ayat (1) huruf b,
laporan hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan pengembangan dan analisis sebagai dasar pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Tata Cara Pemeriksaan.
20. Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 771) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 837) diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2018
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarif Jasa Konsultasi Pajak Update bulan April 2019

Tata Cara Pencabutan PKP

Tarif PPh 21 dan PTKP 2012