PER-25/PJ/2018 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (FORM DGT 2019)

Posted on
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 25/PJ/2018

TENTANG

TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan
    penghindaran pajak berganda telah diatur dalam Peraturan Direktur
    Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017;
  2. bahwa dalam rangka penyederhanaan dan kemudahan
    administrasi, memberikan kepastian hukum, dan untuk mencegah
    penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda, perlu mengatur
    kembali ketentuan mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran
    Pajak Berganda;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
    huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat
    (2) Peraturan
    Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
    tentang Penghitungan
    Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
    Berjalan perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
    Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

  1. Undang-Undang
    Nomor 6 Tahun 1983
    tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 16 Tahun 2009
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
    Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
    Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
    terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 36 Tahun 2008
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan
    Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
    tentang Penghitungan
    Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
    Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161
    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/PMK.03/2017
    tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita
    Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut
    Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1983
    tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 36 Tahun 2008
    .
  2. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya
    disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
    pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya
    pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
  3. Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa
    tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam
    Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara
    sumber.
  4. Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN
    adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
    Undang-Undang PPh yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
    bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap atau tanpa melalui
    bentuk usaha tetap di Indonesia.
  5. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak adalah badan pemerintah,
    subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
    atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk
    melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang
    diterima atau diperoleh WPLN.
  6. Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat
    SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang diisi oleh WPLN
    dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau
    yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  7. Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan
    nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk
    kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh
    Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
    dalam rangka penerapan P3B.
  8. Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN atau Competent
    Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah
    pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau
    Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra
    atau yurisdiksi mitra P3B.
  9. Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai
    perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
  10. Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum
    memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk
    kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi
    pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas
    penghasilan.
  11. Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B
    sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara
    manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi
    atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh Manfaat P3B
    jika penghasilan tersebut diterima langsung.
BAB II
MANFAAT P3B DAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 2

WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat
memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B
dengan ketentuan:

  1. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri
    Indonesia;
  2. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan
    yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau
    yurisdiksi mitra P3B;
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  4. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal
    dipersyaratkan dalam P3B.
Pasal 3

(1) Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima dan/atau
diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
PPh.
(2) Dalam
hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang
WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Dalam
hal berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki oleh
Direktur Jenderal Pajak diketahui bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib
melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
BAB III
SKD WPLN

Pasal 4

(1) SKD
WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
  1. menggunakan Form DGT;
  2. diisi dengan benar, lengkap dan jelas;
  3. ditandatangani
    atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai
    dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  4. disahkan
    dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan
    oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra
    atau yurisdiksi mitra P3B;
  5. terdapat pernyataan WPLN bahwa tidak terjadi
    penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c;
  6. terdapat
    pernyataan bahwa WPLN merupakan beneficial owner dalam hal
    dipersyaratkan dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan
  7. digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN.
(2) Penandasahan
oleh Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dituangkan dalam Part II Form DGT.
(3) Penandasahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan Certificate
of Residence yang harus memenuhi ketentuan:
a. menggunakan
bahasa Inggris;
b. paling
sedikit mencantumkan informasi mengenai:
1) nama
WPLN;
2) tanggal
penerbitan;
3) tahun
pajak berlakunya Certificate of Residence; dan
4) nama
dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda
tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara
mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
(4) Dalam
hal WPLN menggunakan Certificate of Residence sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), WPLN tetap wajib mengisi Form DGT selain Part
II.
(5) Certificate
of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan satu kesatuan dengan SKD WPLN.
(6) Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f
dilakukan dengan cara mengisi SKD WPLN dengan menyatakan bahwa:
  1. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  2. WPLN merupakan beneficial owner dalam hal
    dipersyaratkan dalam P3B,

sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(7) Periode
yang tercantum pada SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
yaitu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(8) Form
DGT menggunakan formulir dengan format sebagaimana tercantum dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

    

BAB IV
PENYALAHGUNAAN P3B

Pasal 5

(1) Tidak
terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
dalam hal:
a. WPLN
memiliki:
1) substansi
ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan
transaksi;
2) bentuk
hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic
substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
3) kegiatan
usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen
tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
4) aset
tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk
melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B
selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
5) pegawai
dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan
keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan
perusahaan; dan
6) kegiatan
atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa
dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia; serta
b. tidak
terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B
antara lain:
1) pengurangan
beban pajak; dan/atau
2) tidak
dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non
taxation),

yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.

(2) Kegiatan
atau usaha aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 6 adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh
WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya
biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang
terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan
dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk
kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan
kelangsungan entitas.
(3) Dalam
hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu
struktur/skema transaksi dengan substansi ekonominya (economic
substance), perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku berdasarkan substansi ekonominya (substance over form)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1.
BAB V
BENEFICIAL OWNER

Pasal 6

(1) WPLN
memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf d dalam hal:
a. bagi
WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. bagi
WPLN badan, harus memenuhi ketentuan:
1) tidak
bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit,
2) mempunyai
kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
3) tidak
lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak lain;
4) menanggung
risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki; dan
5) tidak
mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk
meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari
Indonesia kepada pihak lain.
(2) Yang
dimaksud dengan penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b angka 3 yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan
dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan
keuangan nonkonsolidasi WPLN.
(3) Tidak
termasuk kewajiban kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b angka 3 meliputi pemberian imbalan kepada:
  1. karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan
    pekerjaan; dan
  2. pihak lain atas biaya lain yang lazim dikeluarkan
    oleh WPLN dalam menjalankan usahanya.

 

BAB VI
TATA CARA PENYAMPAIAN SKD WPLN, PEMOTONGAN
DAN/ATAU PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN PAJAK

Pasal 7

(1) Dalam
rangka pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2), WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Pemotong dan/atau Pemungut
Pajak.
(2) Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak yang menerima SKD WPLN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan informasi dalam SKD WPLN
dimaksud secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak melalui laman
milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Atas
penyampaian SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
tanda terima SKD WPLN, dan Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menyampaikan tanda terima SKD WPLN tersebut
kepada WPLN.
(4) Penyampaian
SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan
1 (satu) kali untuk menerima Manfaat P3B sesuai dengan periode yang
tercantum dalam SKD WPLN.
(5) WPLN
yang telah memiliki tanda terima SKD WPLN sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak perlu menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk pemotongan dan/atau pemungutan pajak berikutnya
sesuai dengan periode yang tercantum dalam SKD WPLN untuk penghasilan
yang berasal dari:
  1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud
    pada ayat (2); atau
  2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak selain Pemotong
    dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(6) WPLN
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menyampaikan tanda terima SKD
WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemotong dan/atau Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b.
(7) Dalam
rangka pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak yang menerima tanda terima SKD
WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus melakukan pengecekan
terhadap informasi dalam SKD WPLN pada laman milik Direktorat Jenderal
Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak berdasarkan tanda terima SKD WPLN yang diterima tersebut.
(8) Dalam
hal berdasarkan pengecekan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diketahui bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak terpenuhi, Pemotong dan/atau
Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
Pasal 8

(1) Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan
dan/atau pemungutan pajak yang berbentuk dokumen elektronik sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai bukti pemotongan dan/atau
pemungutan pajak penghasilan.
(2) Dalam
hal dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
tersedia, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti
pemotongan dan/atau pemungutan dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai bukti pemotongan
dan/atau pemungutan pajak penghasilan.
Pasal 9

(1) Pemotong
dan/atau Pemungut Wajib melaporkan pemotongan dan/atau
pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
pelaporan Surat Pemberitahuan.
(2) Dalam
hal terdapat penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh WPLN
tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di
Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak tetap harus melaporkan penghasilan yang
diterima dan/atau diperoleh tersebut dalam Surat Pemberitahuan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan.
(3) Pemotong
dan/atau Pemungut Pajak harus menyampaikan tanda terima SKD
WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) sebagai pengganti SKD
WPLN untuk dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Masa untuk masa
terutangnya pajak.
BAB VII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 10

(1) WPLN
dapat meminta pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan
pajak terkait penerapan P3B yang disebabkan:
  1. kesalahan penerapan P3B;
  2. keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif
    untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan dan/atau pemungutan;
    atau
  3. Persetujuan Bersama.
(2) Kesalahan
penerapan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara lain meliputi kesalahan administratif seperti salah potong,
salah tulis, dan/atau salah hitung.
(3) Keterlambatan
pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan P3B
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah keterlambatan
penyampaian SKD oleh WPLN setelah dilakukan pemotongan atau pemungutan
pajak.
(4) Persetujuan
Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh Pejabat
yang Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra
atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang telah dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Pengembalian
kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal pemotongan dan/atau
pemungutan pajak telah dilaporkan dalam SPT Masa Pemotong atau Pemungut
Pajak untuk masa terutangnya pajak.
(6) Tata
cara pengembalian kelebihan pemotongan dan/atau pemungutan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
BAB VIII
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 11

(1) Dalam
hal penerima penghasilan merupakan Pemerintah negara mitra atau
yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang
namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati
oleh otoritas perpajakan di Indonesia dan otoritas perpajakan di negara
mitra atau yurisdiksi mitra P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan
tidak menggunakan Form DGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Penerima
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) atau surat keterangan dari
otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang
menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang
dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas
penghasilan tertentu berdasarkan P3B.
(3) Certificate
of Residence atau surat keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat digunakan untuk tahun pajak yang tercantum pada
Certificate of Residence atau surat keterangan tersebut.
Pasal 12

Untuk dapat menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B selain ketentuan
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, WPLN harus
menyerahkan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) kepada Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kegiatan
usaha atau tempat kedudukan WPLN di Indonesia paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku:

  1. SKD yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur
    Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017
    tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
    tetap dapat dipergunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2018; dan
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017
    tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB X
PENUTUP

Pasal 14

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2019.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *