UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2007
TANGGAL 17 JULI 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada
Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi
perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam
ketentuan-ketentuan material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 16 TAHUN 2000;
b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3984);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAS Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA
CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah dengan
Undang-Undang:
a. Nomor
9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566);
b. Nomor
16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan:
1. Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
5. Pengusaha
Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
6. Nomor
Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa
Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
8. Tahun
Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
9. Bagian
Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak
yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat
Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
12. Surat
Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
14. Surat
Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat
ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
17. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat
Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
19. Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20. Surat
Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21. Surat
Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit
Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak
karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,
ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang
terutang.
23. Kredit
Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak
yang terutang.
24. Pekerjaan
bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat
oleh suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
26. Bukti
Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh
siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
27. Pemeriksaan
Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
28. Penanggung
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
32. Penyidik
adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
34. Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan
Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan
gugatan.
37. Putusan
Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak
tertentu.
39. Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal
dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam
hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal
diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam
hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan diterima secara langsung.
2. Ketentuan
Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak.
(2) Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan:
a. tempat
pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat
(1) dan ayat (2); dan/atau
b. tempat
pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Jangka
waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli
warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena
penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib
Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d. dianggap
perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak
dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib
Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
3. Di
antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Masa
Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
4. Ketentuan
Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(1a) Wajib
Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1b) Penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda
tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya
mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat
Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau
mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan adalah:
a. untuk
Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak;
b. untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling
lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3a) Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1
(satu) Surat Pemberitahuan Masa.
(3b) Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3c) Batas
waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang
dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Wajib
Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua)
bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara
lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara
pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai
bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5a) Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
(6) Bentuk
dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus
dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan apabila:
a. Surat
Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Surat
Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
c. Surat
Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib
Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
d. Surat
Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan
atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
(7a) Apabila
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.
(8) Dikecualikan
dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
5. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Wajib
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.
(2) Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau
direksi.
(3) Dalam
hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi
dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
(4) Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
(4a) Laporan
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari
masing-masing Wajib Pajak.
(4b) Dalam
hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan
Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan
dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap
tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
(5) Tata
cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Ketentuan
Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Surat
Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan
kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
(2) Penyampaian
Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman
surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Tanda
bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal
penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
7. Ketentuan
Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2) Pengenaan
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah
meninggal dunia;
b. Wajib
Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas;
c. Wajib
Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan
kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib
Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan
pembayaran lagi;
g. Wajib
Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan; atau
h. Wajib
Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Wajib
Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(1a) Dalam
hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(2) Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Walaupun
telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan
kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai
keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan
menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau
lebih kecil; atau
d. jumlah
modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
(5) Pajak
yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri
dimaksud disampaikan.
(6) Wajib
Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan
tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan
pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
9. Ketentuan
Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Menteri
Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,
paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan.
(2a) Pembayaran
atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Atas
pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan,
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan.
(3) Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3a) Bagi
Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama
menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Ketentuan
Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Wajib
Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1a) Surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran
yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata
cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur
dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
11. Ketentuan
Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Atas
permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan
bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(1a) Kelebihan
pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata
Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a)
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat
dilakukan pengembalian kelebihan.
(4) Tata
cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Ketentuan
Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Setiap
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
(2) Jumlah
Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila
Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur
Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
13. Ketentuan
Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
b. apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol
persen);
d. apabila
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. apabila
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(4a).
(2) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
(3) Jumlah
pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar:
a. 50%
(lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
satu Tahun Pajak;
b. 100%
(seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut
tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c. 100%
(seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Besarnya
pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan
surat ketetapan pajak.
(5) Walaupun
jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu
tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau
tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6) Tata
cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
14. Di
antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Wajib
Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib
melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar.
15. Ketentuan
Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari
hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur
pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur
pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. identitas
pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas
pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang
eceran;
f. Pengusaha
Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak; atau
g. Pengusaha
Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(2) Surat
Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak.
(3) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak.
(4) Terhadap
pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang,
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
(5) Terhadap
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak
yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Tata
cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
16. Ketentuan
Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis
dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4) Apabila
jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka
waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(5) Tata
cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
17. Ketentuan
Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Atas
permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
(4) Apabila
diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
18. Ketentuan
Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Direktur
Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
(2) Berdasarkan
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar
jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah
ditetapkan.
19. Ketentuan
Pasal 17A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Direktur
Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
(2) Tata
cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
20. Ketentuan
Pasal 17B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17B
(1) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
lengkap.
(1a) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Apabila
setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4) Apabila
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan
penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
21. Ketentuan
Pasal 17C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17C
(1) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan
paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat
Pemberitahuan;
b. tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c. Laporan
Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun
berturut-turut; dan
d. tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu
5 (lima) tahun terakhir.
(3) Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
a. terhadap
Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
b. terlambat
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua)
Masa Pajak berturut-turut;
c. terlambat
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga)
Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata
cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
22. Di
antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17D dan
Pasal 17E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17D
(1) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib
Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha
Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan
jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4) Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Jika
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak
yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen).
Pasal 17E
Orang
pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang
Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat
diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
23. Ketentuan
Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan
pajak.
(2) Dihapus.
24. Ketentuan
Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Apabila
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau
kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
(3) Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan
huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
25. Ketentuan
Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Atas
jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a)
dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan apabila:
a. Penanggung
Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung
Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat
tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau
menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan
usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi
penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
(3) Penagihan
pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
26. Ketentuan
Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Negara
mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung
Pajak.
(2) Ketentuan
tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak
mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a. biaya
perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya
perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam
hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator,
atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada
pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4) Hak
mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu
ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam
hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5
(lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan
Surat Paksa; atau
b. dalam
hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan
diberikan.
27. Ketentuan
Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Hak
untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada
pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
28. Ketentuan
Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Dihapus.
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak terhadap:
a. pelaksanaan
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan
pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan
yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan
surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya
tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan
pajak.
(3) Dihapus.
29. Ketentuan
Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Tata
cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
30. Ketentuan
Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(2) Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
penghitungan.
(3) Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3a) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum
surat keberatan disampaikan.
(4) Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
(5) Tanda
penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda
bukti penerimaan surat keberatan.
(6) Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
(7) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(8) Jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(9) Dalam
hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
(10) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak
dikenakan.
31. Ketentuan
Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
(2) Sebelum
surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang
bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
32. Di
antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) Tata
cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata
cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir
memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
(3) Apabila
Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses
keberatan tetap dapat diselesaikan.
(4) Wajib
Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan
lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain
data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari
pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
33. Ketentuan
Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
(2) Putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan
tata usaha negara.
(3) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat
Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan
Keberatan tersebut.
(4) Dihapus.
(4a) Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
(5) Dihapus.
(5a) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(5b) Jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(5c) Jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan
pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
(5d) Dalam
hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(6) Badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2)
diatur dengan undang-undang.
34. Ketentuan
Pasal 27A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Apabila
pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk
Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(1a) Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak;
b. untuk
Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk
Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak.
(2) Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4)
dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau
seluruh permohonan Wajib Pajak.
(3) Tata
cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan
bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
35. Ketentuan
Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib
Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
(3) Pembukuan
atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4) Pembukuan
atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
(6) Perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan
oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
(9) Pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(10) Dihapus.
(11) Buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak
orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
(12) Bentuk
dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
36. Ketentuan
Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Untuk
keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan
keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku,
catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu)
bulan sejak permintaan disampaikan.
(3b) Dalam
hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga
tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak
tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(4) Apabila
dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
37. Di
antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
Terhadap
Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan
efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. Surat
Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B; atau
b. terpilih
untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui
Pemeriksaan Kantor.
38. Ketentuan
Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu
serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
(2) Tata
cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
39. Ketentuan
Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Tata
cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata
cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
(3) Apabila
dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak
dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas
waktu yang ditentukan.
40. Ketentuan
Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Dalam
menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh
kurator;
c. badan
dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu
warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak
yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
(2) Wakil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut.
(3) Orang
pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan
serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Termasuk
dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan
dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
41. Ketentuan
Pasal 33 dihapus.
Pasal 33
Dihapus.
42. Ketentuan
Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. pejabat
dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan; atau
b. pejabat
dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3) Untuk
kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis
dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk
kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak
yang ada padanya.
(5) Permintaan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
43. Ketentuan
Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Apabila
dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan
dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari
Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta.
(2) Dalam
hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan,
kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis
dari Menteri Keuangan.
(3) Tata
cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh
kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
44. Di
antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1) Setiap
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Dalam
hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk
kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2).
45. Ketentuan
Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan
atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan
atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam
hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan
atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak
benar; atau
d. membatalkan
hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan
dengan Wajib Pajak.
(1a) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat
diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(1b) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib
Pajak 1 (satu) kali.
(1c) Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan yang diajukan.
(1d) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
(1e) Apabila
diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan
sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
(2) Ketentuan
pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
46. Ketentuan
Pasal 36A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Pegawai
pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan
pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pegawai
pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang
melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pegawai
pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
(4) Pegawai
pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk
membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan perubahannya.
(5) Pegawai
pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
47. Di
antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal
36C, dan Pasal 36D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36B
(1) Menteri
Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.
(2) Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.
(3) Pengawasan
pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat
Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36C
Menteri
Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36D
(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi
insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Tata
cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
48. Di
antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
(1) Wajib
Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1
(satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib
Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya
Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang
tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan
yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak
benar atau menyatakan lebih bayar.
49. Ketentuan
Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
Setiap
orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
atau
b. menyampaikan
Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 1 (satu) tahun.
50. Ketentuan
Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak
menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap
orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.
51. Di
antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39A
Setiap orang yang
dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur
pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan
faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
52. Ketentuan
Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Pejabat
yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
53. Ketentuan
Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
Setiap
orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
54. Ketentuan
Pasal 41B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41B
Setiap
orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
55. Di
antara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41C yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41C
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap
orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Setiap
orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap
orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan
sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
56. Ketentuan
Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
57. Sebelum
Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 43A
(1) Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang
melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.
(2) Dalam
hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut
petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit
pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan
pemeriksaan bukti permulaan.
(3) Apabila
dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak
Pidana Korupsi.
(4) Tata
cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
58. Ketentuan
Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa
buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan;
g. menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret
seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan
penyidikan; dan/atau
k. melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(4) Dalam
rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
59. Ketentuan
Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44B
(1) Untuk
kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau
kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Pasal II
1. Terhadap
semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak
2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000.
2. Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain
penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4),
berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
3. Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 85
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN
UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
I. UMUM
1. Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara
perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material,
kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.
2. Sejalan
dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari
bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan,
meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan
hukum, serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan
perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan
tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur
perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan
kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
3. Sistem,
mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang
sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang ini dengan tetap
menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan
peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga
masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
dengan lebih baik.
4. Dengan
berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
a. meningkatkan
efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;
b. meningkatkan
pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya
saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha
kecil dan menengah;
c. menyesuaikan
tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang
teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak
dan kewajiban;
e. menyederhanakan prosedur administrasi
perpajakan;
f. meningkatkan
penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
g. mendukung iklim usaha ke arah yang
lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan
dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya
kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal I
Angka
1
Pasal
1
Cukup
jelas.
Angka
2
Pasal
2
Ayat
(1)
Semua
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem
self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Persyaratan
subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan
objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban
mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta.
Wanita
kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan
kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor
Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh
karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga
ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak
yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha
orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat
kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban
melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan.
Dengan
demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan
usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan
kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap
Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Terhadap
Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat
menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat
(1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain
itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya
pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di
samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat
(4)
Terhadap
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini
dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat
(4a)
Ayat
ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat
terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang
bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari
pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib
Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata
Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005,
kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat
(5)
Kewajiban
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban
melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi
jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan
kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat
(6)
Cukup jelas.
Ayat
(7)
Cukup jelas.
Ayat
(8)
Cukup jelas.
Ayat
(9)
Cukup jelas.
Angka
3
Pasal
2A
Cukup
jelas.
Angka
4
Pasal
3
Ayat
(1)
Fungsi
Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
b. penghasilan
yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. harta
dan kewajiban; dan/atau
d. pembayaran
dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi
Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang:
a. pengkreditan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi
pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
Yang
dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan
benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara
itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat
Pemberitahuan adalah:
a. benar
adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap
adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
c. jelas
adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain
yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Surat
Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib
disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban
penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan
untuk setiap Masa Pajak.
Ayat
(1a)
Cukup jelas.
Ayat
(1b)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Dalam
rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak
juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan
mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat
Pemberitahuan tersebut.
Namun,
untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat
mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat
(3)
Ayat
ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap
cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat
(3a)
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak
sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut
Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa
Pajak yang terakhir; dan/atau
b. menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa
Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan
sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
Ayat
(3b)
Cukup jelas.
Ayat
(3c)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Apabila
Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3)
huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan pemberitahuan secara elektronik
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(5)
Untuk
mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang
ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Persyaratan
tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan menyebutkan
besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti
pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat
(5a)
Dalam
rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah
ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib
Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat
(6)
Mengingat
fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan
pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan, dokumen
yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah
peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang
terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta
harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib
Pajak orang pribadi.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah
Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat
(7)
Surat
Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang
merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat
Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan
lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam
administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan
tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian
juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah
melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan
tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat
(7a)
Cukup jelas.
Ayat
(8)
Pada
prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri
Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Angka
5
Pasal
4
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(4a)
Yang
dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan
keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT
A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai
kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan,
juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi),
sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan
laporan keuangan konsolidasi.
Ayat
(4b)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Tata
cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai,
antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan
Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman
dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Angka
6
Pasal
6
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat
(3)
Tanda
bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat
Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Angka
7
Pasal
7
Ayat
(1)
Maksud
pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini
adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan.
Ayat
(2)
Bencana
adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angka
8
Pasal
8
Ayat
(1)
Terhadap
kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak,
Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan
pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah
pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak,
wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak.
Ayat
(1a)
Yang
dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Ayat
(2)
Dengan
adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa
akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan
pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga
yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang
dimaksud dengan “1 (satu) bulan” adalah jumlah hari dalam bulan kalender yang
bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli,
sedangkan yang dimaksud dengan “bagian dari bulan” adalah jumlah hari yang
tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat
(2a)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Wajib
Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum
dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak
telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya
tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun,
apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut
diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat
(4)
Walaupun
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum
membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun
atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang
sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang.
Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses
pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat
(5)
Atas
kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak
sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan
ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan
tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat
(6)
Sehubungan
dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas
suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi
fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun
berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal
sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan
Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga)
bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak
Wajib Pajak atas kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat
Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak
mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya,
yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur
Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak.
Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai
berikut:
Contoh 1:
PT
A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang
menyatakan:
Penghasilan
Neto sebesar Rp200.000.000,00
Kompensasi
kerugian berdasarkan
Surat
Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan tahun 2007
sebesar Rp150.000.000,00
(-)
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 50.000.000,00
Terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan,
dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang
menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00.
Berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan
Neto Rp200.000.000,00
Rugi
menurut ketetapan pajak
tahun
2007 Rp 70.000.000,00 (-)
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp130.000.000,00
Dengan
demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula
Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan
menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh
2:
PT
B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang
menyatakan:
Penghasilan
Neto sebesar Rp300.000.000,00
Kompensasi
kerugian berdasarkan
Surat
Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan Tahun 2007
sebesar Rp200.000.000,00
(-)
------------------------
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp100.000.000,00
Terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan
dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang
menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan
Neto Rp300.000.000,00
Rugi
menurut ketetapan
pajak
tahun 2007 Rp250.000.000,00 (-)
---------------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Dengan
demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula
Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan
menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).
Angka
9
Pasal
9
Ayat
(1)
Batas
waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa
Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15
(lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(2a)
Ayat
ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran
pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai
berikut:
Angsuran
masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per
bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan
tanggal 19 Juni 2008. Apabila pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
sebagai berikut:
1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00.
Ayat
(2b)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Atas
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk
kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran
telah ditentukan.
Kelonggaran
tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan
terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan
likuiditas.
Angka
10
Pasal
10
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Adanya
tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran
pajak dan administrasinya.
Angka
11
Pasal
11
Ayat
(1)
Jika
setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan
jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai
utang pajak.
Dalam
hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak
baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus
diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat
sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Untuk
menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas
waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu)
bulan:
a. untuk
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
d. untuk
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
dihitung sejak tanggal penerbitan;
e. untuk
Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. untuk
Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan
Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan
putusan pengadilan
sampai
dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak.
Ayat
(3)
Untuk
menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan
yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan
saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
12
Pasal
12
Ayat
(1)
Pajak
pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah:
a. pada
suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada
akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak
Penghasilan.
Jumlah
pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan
ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan
Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk
menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang
disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas
pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan
oleh Wajib Pajak.
Ayat
(2)
Ketentuan
ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar
besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan,
tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat
(3)
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya
pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Angka
13
Pasal
13
Ayat
(1)
Ketentuan
ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya
terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan
demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan
bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima)
tahun.
Menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana
mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya
Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui
bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya
terutang.
Pemeriksaan
dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan
usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan
dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang
disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk
memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan
pemeriksaan.
Surat
Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur
secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan
dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara
jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Teguran,
antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang
beriktikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat
disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya
(force majeur).
Bagi
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Bagi
Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung
jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan
pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian
atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh
Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
1. pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi
atau peredaran tidak jelas;
2. dokumen-dokumen
pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
atau
3. dari
rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu
sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.
Beban
pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat
(2)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak
karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
Sanksi
administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Walaupun
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua)
tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut
hanya untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh
: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib
Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar
Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu.
Pada
bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
2. Pajak yang terutang
(30% x Rp100.000.000,00) Rp
30.000.000,00
3. Kredit pajak Rp
10.000.000,00 (-)
--------------------------
4. Pajak yang kurang dibayar Rp 20.000.000,00
5. Bunga 24 bulan
(24 x 2% x Rp20.000.000,00) Rp
9.600.000,00 (+)
--------------------------
6. Jumlah pajak yang masih
harus dibayar Rp 29.600.000,00
Dalam
hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha
tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa
Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat
(3)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah
proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya
sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu
untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan
yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen).
Ayat
(4)
Untuk
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan
pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah
pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat
Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya
atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(5)
Apabila
terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang
terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk
mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat
membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa
Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh
penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya
Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan
yang dalam putusan pengadilan tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek
pajak yang belum dikenai pajak.
Oleh
karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam
hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan,
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu
5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Angka
14
Pasal
13A
Pengenaan
sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai
sanksi administrasi.
Oleh
karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak dikenai sanksi pidana apabila
kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib
Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen)
dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Angka
15
Pasal
14
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Surat
Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat
ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan
Surat Paksa.
Ayat
(3)
Ayat
ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan
Pajak yang diterbitkan karena:
a. Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau
b. penelitian
Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat
salah tulis dan/atau salah hitung.
Untuk
jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:
1. Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Pajak
Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh
tempo misalnya tiap tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00.
Atas
kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak
pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Pasal 25 bulan Juni 2008
(Rp100.000.000,00-Rp40.000.000,00) =Rp60.000.000,00
- Bunga
= 3 x 2% x Rp60.000.000,00 =
Rp
3.600.000,00 (+)
-------------------------
- Jumlah yang harus dibayar = Rp63.600.000,00
2. Hasil
penelitian Surat Pemberitahuan
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi tahun 2008
yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian
ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar
sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan
Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai
berikut:
- Kekurangan
bayar Pajak
Penghasilan =Rp1.000.000,00
- Bunga
= 3 x 2% x Rp1.000.000,00 =
Rp 60.000,00 (+)
----------------------
- Jumlah
yang harus dibayar =Rp1.060.000,00
Ayat
(4)
Pengusaha
Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat
faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur
pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari
Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian
pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya
tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama.
Sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak
ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih
dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Angka
16
Pasal
15
Ayat
(1)
Untuk
menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang
ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu
Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan
pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan
pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan
apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan
pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan
pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak
sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga
harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan
demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin
diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat
adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan
dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat
telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal
ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih
ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru
termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur
Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat
diterbitkan lagi.
Yang
dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh
Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang
diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain
itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap,
yaitu data yang:
a. tidak
diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya
(termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada
waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data
dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang
terutang.
Walaupun
Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya
pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya
dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung
besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang
terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam
Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan
Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila
pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut
sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data
mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
2. Dalam
Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta
tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap
kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan
semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya
termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi
dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan
harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk
data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha
Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain
dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya
tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan
sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila
pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian
penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila
setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan
mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang
semula belum terungkap.
Ayat
(2)
Dalam
hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data
baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan
sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dalam
hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilampaui.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka
17
Pasal
16
Ayat
(1)
Pembetulan
menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang
baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat
manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib
Pajak.
Apabila
ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan
permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan.
Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. surat
ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;
c. Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;
f.
Surat Keputusan Keberatan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi;
h. Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i.
Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak; atau
j.
Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak.
Ruang
lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan
tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib
Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,
dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan
hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau
pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan
dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi
administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan
pajak.
Pengertian
”membetulkan” pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau
menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika
masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak
dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak,
atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat
(2)
Untuk
memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib
Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
permohonan diterima.
Ayat
(3)
Dalam
hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan
dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
18
Pasal
17
Ayat
(1)
Menurut
ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak
Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
b. Pajak
Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak
Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai tersebut; atau
c. Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan
atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang
bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila
Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
19
Pasal
17A
Ayat
(1)
Menurut
ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak
Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau
pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
b. Pajak
Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang
terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang
terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang
dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka
20
Pasal
17B
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “surat permohonan telah diterima secara lengkap” adalah Surat
Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat
ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
Ayat
(1a)
Yang
dimaksud dengan “sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan” adalah dimulai
sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib
Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak.
Ayat
(2)
Batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila
batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas
waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
Ayat
(3)
Jika
Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
21
Pasal
17C
Ayat
(1)
Terhadap
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan
Nilai
sejak
permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah
diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat
(6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat
Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
konfirmasi kebenaran kredit pajak.
Ayat
(2)
Termasuk
dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat
waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun
terakhir;
b. dalam
Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak
Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa
Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Masa Pajak berikutnya.
Bahwa
Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31
Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk
dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5
(lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah
memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat
ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat
(5)
Untuk
mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila
dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk
jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan
sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak
Penghasilan
- Wajib
Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp80.000.000,00.
- Dari
pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak
Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp20.000.000,00
- Pajak
Penghasilan Pasal 23 Rp40.000.000,00
- Pajak
Penghasilan Pasal 25 Rp90.000.000,00
Berdasarkan
hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dengan penghitungan sebagai berikut:
- Pajak
Penghasilan yang
terutang
sebesar Rp100.000.000,00
- Kredit
Pajak:
- Pajak
Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak
Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak
Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00 (+)
--------------------------
Rp150.000.000,00
- Jumlah
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan Pajak Rp 80.000.000,00 (-)
---------------------------
- Jumlah
pajak yang dapat
dikreditkan Rp 70.000.000,00 (-)
---------------------------
Pajak
yang tidak/kurang dibayar
Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% Rp
30.000.000,00 (+)
----------------------------
Jumlah yang masih harus dibayar Rp
60.000.000,00
2) Pajak
Pertambahan Nilai
- Pengusaha
Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp60.000.000,00.
- Dari
pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Keluaran Rp100.000.000,00
b. Kredit
pajak, yaitu Pajak Masukan Rp150.000.000,00
Berdasarkan
hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dengan penghitungan sebagai berikut:
- Pajak
Keluaran Rp100.000.000,00
- Kredit Pajak:
- Pajak Masukan Rp150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan Pajak Rp 60.000.000,00 (-)
--------------------------
- Jumlah
pajak yang dapat
dikreditkan Rp 90.000.000,00 (-)
--------------------------
Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000,00
Sanksi administrasi
kenaikan 100% Rp
10.000.000,00 (+)
----------------------------
Jumlah yang masih harus
dibayar Rp 20.000.000,00
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Angka
22
Pasal
17D
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Untuk
mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah
memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat
(5)
Untuk
memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
Pasal
17E
Cukup
jelas.
Angka
23
Pasal
18
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dihapus.
Angka
24
Pasal
19
Ayat
(1)
Ayat
ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh
tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a. Jumlah
pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas
akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan
tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008
diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak
yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar
sampai dengan jatuh
tempo pelunasan =Rp
6.000.000,00 (-)
---------------------------
Kurang
dibayar =Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp 80.000,00
b. Dalam
hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf
a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada
tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar setelah jatuh tempo
pelunasan =Rp10.000.000,00
-----------------------
Kurang
dibayar =Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) =Rp 200.000,00
Ayat
(2)
Ayat
ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a. Wajib
Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang
diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1
Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran
pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung
sebagai berikut:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran
ke-4 : 2% x Rp448.000,00 =
Rp8.960,00.
angsuran
ke-5 : 2% x Rp224.000,00 =
Rp4.480,00.
b. Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran
pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi
administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
25
Pasal
20
Ayat
(1)
Apabila
jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau
Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan
dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap
Penanggung Pajak.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “penagihan seketika dan sekaligus” adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari
semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
26
Pasal
21
Ayat (1)
Ayat
ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan
dilelang di muka umum.
Pembayaran
kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka
27
Pasal
22
Ayat
(1)
Saat
daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan
utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa
penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat
ketetapan pajak diterbitkan.
Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau
Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat
(2)
Daluwarsa
penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) apabila:
a. Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung
Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib
Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan
angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak
tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Terdapat
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. Terhadap
Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa
penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Angka
28
Pasal
23
Ayat
(1)
Dihapus.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Dihapus.
Angka
29
Pasal
24
Menteri
Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang
pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak
badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi
syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah
daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo
piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka
30
Pasal
25
Ayat
(1)
Apabila
Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan
yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu
jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud
dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan
terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan
atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus
diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua)
Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “alasan yang menjadi dasar penghitungan” adalah alasan-alasan
yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti
pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat
(3)
Batas
waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib
Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan
beserta alasannya.
Apabila
ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur),
tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk
diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(3a)
Ketentuan
ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah
harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah
disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan
tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat
(4)
Permohonan
keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan
dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat
(5)
Tanda
penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat
tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila
surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak
memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi
syarat sebagai surat keberatan.
Ayat
(6)
Agar
Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak
diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau
pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,
Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat
(7)
Ayat
ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan
pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar
pada saat pengajuan keberatan.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Dalam
hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak
tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk
tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah
pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap
PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui
pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah
melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian
mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan
sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar
menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai
sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi
sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000,00 –
Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat
(10)
Cukup
jelas.
Angka
31
Pasal
26
Ayat
(1)
Terhadap
surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam
tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan
batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan
ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut,
berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain
terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Ayat
ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan
secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan
karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun
telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan
pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki
tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna
menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat
membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan
keberatannya ditolak.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka
32
Pasal
26A
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Agar
dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh
keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud
pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
33
Pasal
27
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dihapus.
Ayat
(4a)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Dihapus.
Ayat
(5a)
Ayat
ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu
pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan
pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat
(5b)
Cukup
jelas.
Ayat
(5c)
Cukup
jelas.
Ayat
(5d)
Dalam
hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di
samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100%
(seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk
tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah
pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap
PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui
pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah
melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian
mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan
sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar
menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya
Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan
besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam
hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar
100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000,00) = Rp250.000.000,00.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Angka
34
Pasal
27A
Ayat
(1)
Imbalan
bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak.
Ayat
(1a)
Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan
atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya
mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan
Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan
pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat
(2)
Imbalan
bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah
diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan
atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
35
Pasal
28
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Prinsip
taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat
asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel
akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang.
Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu
dibayar secara tunai.
Termasuk
dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode
persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti
build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel
kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang
diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut
stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar
telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru
dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam
suatu periode tertentu.
Stelsel
kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan
jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara
penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam
stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada
saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat
barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan
cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke
tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) Penghitungan
jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik
yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam
memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian
stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan
demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan
stelsel campuran.
Ayat
(6)
Pada
dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan
tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan
penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap,
dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih
dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal
Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang
logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.
Perubahan
metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang
dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau
perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu
sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan
metode penyusutan garis lurus atau straight line method. Jika dalam tahun 2009
Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan
metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak
harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang
diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain
itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan
atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus
mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun
Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender,
penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya
termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Tahun
buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
b. Tahun
buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
Ayat
(7)
Pengertian
pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini
dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak
yang terutang.
Selain
dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus
mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau
nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan
demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Pencatatan
oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
Di
samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak
dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ayat
(10)
Dihapus.
Ayat
(11)
Buku,
catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi
on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu
dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap
ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan
buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang
diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat
(12)
Cukup
jelas.
Angka
36
Pasal
29
Ayat
(1)
Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
b. tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pemeriksaan
dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak
(Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu
jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk
tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan
dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan
badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan
pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau
pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain
itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan
atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan
bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
f.
pencocokan data dan/atau alat
keterangan;
g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di
daerah terpencil;
h. penentuan
satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i.
pemeriksaan dalam rangka
penagihan pajak;
j. penentuan
saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
k. pemenuhan
permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat
(2)
Pemeriksaan
dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu,
petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan
Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang
diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan
kepada Wajib Pajak.
Petugas
pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki
keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas
pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian,
sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat
dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan
berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas
pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Kewajiban
yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada
ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila
Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan
proses pengolahan data secara elektronik (electronic data processing/EDP), baik
yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain,
Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses
dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan
ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan
tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk
tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan
di tempat-tempat tersebut.
Dalam
hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan
dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa
keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan
tertulis misalnya:
a. surat
pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
b. keterangan
bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
c. surat pernyataan tentang kepemilikan
harta; atau
d. surat pernyataan tentang perkiraan
biaya hidup.
Keterangan
lisan misalnya:
a. wawancara tentang proses pembukuan
Wajib Pajak;
b. wawancara tentang proses produksi Wajib
Pajak; atau
c. wawancara
dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(3b)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Untuk
mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada
kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan
lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini
menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka
37
Pasal
29A
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan
sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan,
pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor,
proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga
Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui
Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat
pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu
pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat
meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
Angka
38
Pasal
30
Ayat
(1)
Dalam
pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan
yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan
kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan
oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja
tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib
Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak
bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan
pemeriksaan.
Dalam
hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang
dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk
tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa
dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang,
dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan
merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk memperoleh atau mengamankan buku, catatan,
dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain
yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib
Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah,
dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan
data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan
operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka
39
Pasal
31
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Untuk
lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan
hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur
kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak
dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak
hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
40
Pasal
32
Ayat
(1)
Dalam
Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan
pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum
dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan.
Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau
kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri
tindakan hukum tersebut.
Ayat
(2)
Ayat
ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini
bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang.
Pengecualian
dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak
dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran
dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat
(3)
Ayat
ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta
bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan
atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan
tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak
Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang
dimaksud dengan “kuasa” adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib
Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Orang
yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya
berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan
sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan
pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk
dalam pengertian pengurus. Ketentuan pada ayat ini berlaku pula bagi komisaris
dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Angka
41
Pasal
33
Dihapus.
Angka
42
Pasal
34
Ayat
(1)
Setiap
pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat
Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak;
b. data
yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen
dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen
dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat
(2)
Para
ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama
dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat
(2a)
Keterangan
yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang
bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas
Wajib Pajak meliputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
Informasi yang bersifat umum tentang
perpajakan meliputi:
a. penerimaan
pajak secara nasional;
b. penerimaan
pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor
Pelayanan Pajak;
c. penerimaan pajak per jenis pajak;
d. penerimaan pajak per klasifikasi
lapangan usaha;
e. jumlah
Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
f. register permohonan Wajib Pajak;
g. tunggakan pajak secara nasional;
dan/atau
h. tunggakan
pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor
Pelayanan Pajak.
Ayat
(3)
Untuk
kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam
rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau
bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan
kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam
surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib
Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang
diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari
atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas
dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat
(4)
Untuk
melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan,
Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat
(5)
Ayat
ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta
hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa
yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang
bersangkutan.
Angka
43
Pasal
35
Ayat
(1)
Untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan
tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang
mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang
dimaksud dengan “konsultan pajak” adalah setiap orang yang dalam lingkungan
pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Untuk
kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai
keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
44
Pasal
35A
Ayat
(1)
Dalam
rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai
konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,
dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan
informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang
dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau
kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam
rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data
dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ayat
(2)
Apabila
data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk
kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya
suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas
data dan informasi dimaksud.
Angka
45
Pasal
36
Ayat
(1)
Dalam
praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak
tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib
Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal
demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain
itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak
dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan
keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian
juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan
atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas
permohonan Wajib Pajak.
Dalam
rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan
hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan
dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan
Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(1b)
Cukup
jelas.
Ayat
(1c)
Cukup
jelas.
Ayat
(1d)
Cukup
jelas.
Ayat
(1e)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka
46
Pasal
36A
Ayat
(1)
Dalam
rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai
pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai
pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai
dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Ayat
ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai
pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan
karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat
diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai
pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan
pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Pegawai
pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila
pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang
berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Angka
47
Pasal
36B
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
36C
Cukup
jelas.
Pasal
36D
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pemberian
besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah
dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah
keuangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka
48
Pasal
37A
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka
49
Pasal
38
Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan
menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang
menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran
administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan
adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk
mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan
yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati,
atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Angka
50
Pasal
39
Ayat
(1)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam
penerimaan negara.
Dalam
perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat
(2)
Untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka
yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat
(3)
Penyalahgunaan
atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan
negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan
delik tersendiri.
Angka
51
Pasal
39A
Faktur
pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat
penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga
bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk
pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan
faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti
setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan
tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan
pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Angka
52
Pasal
41
Ayat
(1)
Untuk
menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada
pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak
ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya
sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya
pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan
kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam
arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk
merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang
dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut,
pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat
(2)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan
yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih
berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat
(3)
Tuntutan
pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang
atau badan selaku Wajib Pajak.
Angka
53
Pasal
41A
Agar
pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan
perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Angka
54
Pasal
41B
Seseorang
yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan
dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini
dikenai sanksi pidana.
Angka
55
Pasal
41C
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
56
Pasal
43
Ayat
(1)
Yang
dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak
terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib
Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap
mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka
57
Pasal
43A
Ayat
(1)
Informasi,
data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan
dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang
hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan,
atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
58
Pasal
44
Ayat
(1)
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang
berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat
(2)
Pada
ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan,
termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap
barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan
surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang
telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
59
Pasal
44B
Ayat
(1)
Untuk
kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana
tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal II
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4740